Sunday 1 March 2015

TODAY NEWS


Jokowi Dianggap Sepelekan Permohonan Grasi Terpidana Mati

Minggu, 1 Maret 2015 | 16:49 WIB
Tribun Pontianak/Destriadi Yunas Jumasani Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan kata sambutan dalam peresmian Masjid Raya Mujahidin Kalbar, Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (20/1/2015).

JAKARTA, KOMPAS.com - Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet menilai Presiden Joko Widodo menyepelekan permohonan grasi bagi para terpidana mati yang berusaha memohonkan keadilan. Menurut Robert, Jokowi menolak permohonan grasi tanpa membaca isi permohonan dan rekomendasi dari pihak lain.


"Jokowi memutus tanpa memeriksa secara detail mengenai perubahan-perubahan terpidana. Bahkan tidak memeriksa berkas-berkas. Presiden cenderung tidak ambil pusing menyangkut nyawa orang," ujar Robert dalam konferensi pers di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, Minggu (1/3/2015).

Robert menjelaskan, dalam kuliah umum yang digelar di Balai Senat Gedung Pusat UGM, Selasa (9/12/2014), di hadapan civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Presiden memastikan akan menolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba.

Menurut Robert, keputusan menolak grasi tersebut dibuat sebelum para terpidana yang saat ini menunggu giliran eksekusi, mengirimkan permohonan grasi. Selain itu, menurut Robert, dalam sebuah pernyataan, Jokowi malah mengatakan bahwa keputusan hukuman mati ditetapkan oleh pengadilan, sementara ia hanya menolak permohonan.

Robert mengatakan, seharusnya Jokowi dapat lebih mempertimbangkan dengan memeriksa isi permohonan mengenai kemungkinan adanya kekeliruan dalam proses hukum. Menurut dia, Jokowi juga perlu meneliti rekomendasi dari pihak-pihak lain secara lebih terperinci.

"Tidak adil bagi terpidana yang berkelakuan baik dan berguna bagi lingkungan, tetapi tidak diperhitungkan pada saat memohonkan grasi. Presiden, berhentilah mengambil sikap konyol untuk kasus yang genting," kata Robert.


Penulis: Abba Gabrillin
Editor : Hindra Liauw
__________________________________________________________________________________

Pendapat :
    Saya setuju dengan yang dikatakan Robert, seharusnya Presiden lebih mempertimbangkan untuk memberikan grasi kepada nara pidana. Memang iya, Presiden hanya menolak permohonan grasi dan yang memberikan hukuman mati adalah pengadilan. Namun, Presiden seharusnya memberikan grasi kepada narapidana tersebut karena ini menyangkut nyawa orang dan juga seharusnya lebih mempertimbangkan lagi hukum yang ada pada narapidana tersebut, mungkin narapidana tersebut seharusnya tidak diberikan hukuman mati dan diberikan hukuman yang lebih ringan. 

Sumber : Kompas

Sunday 8 February 2015

TODAY NEWS

News / Regional

Tes Keperawanan dan Keperjakaan Diusulkan Jadi Syarat Kelulusan


Sabtu, 7 Februari 2015 | 10:46 WIB
JEMBER, KOMPAS.com — Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jember, Jawa Timur, Mufti Ali, mengusulkan dibentuknya peraturan daerah (perda) tentang perilaku yang baik dan terpuji. 

Mufti Ali mengusulkan salah satu poin dalam perda itu mengatur tentang tes keperjakaan dan keperawanan sebagai salah satu syarat kelulusan siswa di tingkat SMP dan SMA. 
“Masyarakat boleh menilai, jika usulan kami ini cukup kontroversial, tetapi jujur saja ini berangkat dari keresahan kami,” katanya kepada Kompas.com, Sabtu (7/2/2015). 

Dia menceritakan, ide itu muncul saat Komisi D menggelar rapat dengar pendapat dengan Dinas Pendidikan Jember beberapa waktu yang lalu. “Saat hearing kemarin ada temuan bahwa di salah satu SMP di jember, ternyata ada sejumlah siswi yang curhat kepada Guru BK. Mereka mengaku sudah berulang kali melakukan hubungan seksual dengan pacarnya,” ungkap Mufti.

Mufti mengaku sangat kaget dengan kondisi tersebut. Sebab, jika kondisi itu terus dibiarkan begitu saja tanpa ada solusi, maka akan berdampak negatif terhadap generasi penerus bangsa. 

“Jujur saja, saya merasa berdosa jika ini dibiarkan, makanya saya usul kemudian ada perda tentang akhlakul karimah, yang di dalamnya mengatur tentang syarat kelulusan dengan tes keperawanan dan keperjakaan,” terang dia. 

Persoalan ide tersebut akan memunculkan sebuah kontroversi, Mufti mengaku sangat wajar. ”Meskipun kategori prestasi pendidikan Jember cukup bagus, jujur saja saya tidak bangga karena kondisi moral peserta didik kita ternyata seperti itu. Untuk itu, saya menggugah kesadaran orangtua untuk menjaga anak-anaknya dari pergaulan bebas. Mereka adalah generasi penerus kita, mari kita jaga bersama-sama,” dia berharap.


Penulis: Kontributor Jember, Ahmad Winarno
Editor: Kistyarini

                                                                                    



Opini : Saya tidak setuju dengan usulan tersebut. Karena keperawanan / keperjakaan seorang siswa tidak ada hubungannya dengan kelulusan. Lagipula, jika siswa itu sudah tidak perawan dan tidak lulus dari sekolah itu malah membuat siswa itu semakin buruk perilakunya, bukan semakin baik. Tes keperawanan sebagai syarat kelulusan juga tidak bisa menjadi sarana untuk menekan penyakit akibat seks bebas. Di bangku sekolah, para siswa juga sudah diajari bahaya melakukan seks bebas, itu sudah cukup untuk melarang para siswa untuk melakukan seks bebas. Jika ada yang melanggar, itu terserah mereka. Daripada mensyaratkan tes keperawanan sebagai syarat kelulusan, lebih baik pemerintah melakukan hal-hal pencegahan. Melalui guru misalnya, para guru bisa diminta untuk lebih memperhatikan para siswanya dalam pergaulan. Juga bisa melalui internet, dengan memblokir website berbau porno.